Tulisan ini merupakan pemahaman penulis
setelah membaca buku cracking values dari Rhenald Kasali. Dalam buku tersebut
pengarang mengingatkan para pembacanya, dalam era
"material abundance" ini maka kita perlu menjadi pribadi
yang mempunyai mentalitas pengemudi bukan pribadi yang mempunyai mentalitas
penumpang. Pribadi dengan mentalitas pengemudi adalah
peribadi yang selalu tanggap, waspada, dan selalu belajar keadaan di
sekelilingnya baik di depan, belakang, kanan dan kiri sebagaimana seorang
pengemudi yang selalu harus waspada dan juga mempunya daya respon yang tepat.
Values atau tata
nilai adalah kumpulan nilai yang diturunkan dari sesuatu yang dipercayai (ending belief) dan memberikan kekuatan
bila dijalankan. Tata nilai dapat difokuskan pada suatu hasil akhir di masa
depan (future end) dan/ atau tata
cara (proses, mean) untuk mengerjakan atau menyelesaikan sesuatu. Dalam buku Servant Leadership, Robert Greenleaf menyebutkan 10 pilar untuk menjadi seorang pemimpin yang bisa
melayani diantaranya adalah kemampuan mendengar,
berempati, dan menangkap kemauan akar rumput. Hal ini tentunya
sangat relevan dengan anatomi yang dimiliki manusia, manusia memiliki satu
mulut, dua telinga dua mata pada hakekatnya manusia diminta lebih banyak
mendengar dan melihat di sekelilingnya dari pada lebih banyak bicara. Sehingga
dengan lebih banyak melihat dan mendengar dia akan lebih bijak dalam bertindak.
Dengan banyak melihat dan mendengar
sebenarnya banyak sekali tata nilai yang bagus dan sangat tepat diterapkan di
lingkungan kita. Misalnya tata nilai tepat waktu, bukankah nilai ini sangat
bagus dan setiap agama maupun pendahulu kita mengajarkan hal tersebut. Akan
tetapi pada kenyataannya nilai tersebut hanya jadi slogan semata jarang sekali
ditepati. Jam karet telah menjadi budaya di lingkungan kita. Kadang ironi yang
terjadi adalah orang malu untuk daang tepat waktu karena akan berbeda dengan
yang lainnya. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, Kenapa kadang values tidak bisa diterapkan? Beberapa hal yang pengarang buku
inventarisir sebagai penyebab values tidak diterapkan adalah:
1.
Nilai-nilai
itu tidak mencerminkan apa yang dipercayai para pemimpin atau para pendahulu
untuk mencapai keberhasilan
2.
Nilai-nilai
hanya dirangkai agar mudah diingat dalam bentuk sebuah singkatan
3.
Nilai-nilai
terlalu dipaksakan (top down)
4.
Nilai-nilai
ini sekadar dijadikan hiasan
5.
Nilai-nilai
tersebut tidak
dijadikan budaya
Sebagai contoh kenapa nilai tepat waktu tadi tidak atau belum menjadi
kebiasaan di lingkungan kita karena nilai yang indah tersebut tidak dijadikan
budaya. Lalu bagaimana agar nilai yang ada disekitar kita bisa diterapkan dan
menjadi nafas dalam kehidupan kita, pengarang buku memberikan solusi yaitu
adanya cracking values. Apa yang dimaksud dengan cracking values?
Cracking values adalah penguatan dan peremajaan
nilai-nilai institusi dan korporasi yang menjadi tuntutan publik dan sekaligus penentu bagi masa depan sebuah bangsa.Misal adalah 6 C pertaminan yaitu Clean, Confident, Costumer focus, Commercial, Competitive,
Capable. Dengan mengusung 6C tersebut
diharapkan pertamina dapat lebih kuat sebagai korporasi dan juga lebih bisa
memberikan kepuasan bagi para customernya.
Arie de geus mengenalkan konsep living company -----melihat perusahaan layaknya
sebagai makhluk hidup : ada 4 values yang bisa mengakibatkan perusahaan
bertahan hidup:
1. Sensitive terhadap lingkungan
2. Kohesif dan identitas
3. Toleransi dan desentralisasi
4. Konservatif dalam soal keuangan
Survey dari Edwards Deming center
for quality management (whitney 1995) menunjukkan banyak perusahaan yang
menyia-nyiakan 50% waktu produktifnya karena kurangnya kepercayaan. Padahal
kepercayaan adalah sebuah fundamental intangible yang bisa didorong melalui
corporate values. Sehingga
tentunya nilai kepercayaan ini harus dibudayakan dalam corporasi.
Dari survey booz allen, Hamilton dan
Aspen Institute pada tahun 2005 terhadap 9500 pejabat senior di 365 perusahaan
yang berlokasi di 30 negara dalam 5 kawasan bahwa sebagian besar CEO menyetujui bahwa yang paling penting
adalah perilaku etik atau integritas. Beberapa temuan penting dari survey tersebut:
1.
Integitas/ perlaku etis = 90%
2.
Commitmen to costumer 88%
3.
Commitment to employees 78%
4.
Teamwork and trust 76%
5.
Commitment to stakeholders 69%
6.
Honesty/openness 69%
7.
Accountability = 68%
8.
Social resp / corp citizenship = 65%
9.
Innovative/ entrepreneurship 60%
10. Drive to success = 50%
11. Environment responsibility = 46%
12. Initiative = 44%
13. Commitment to diversity = 41%
14. Adaptability = 31%
Dari survei
menunjukkan nilai-nilai yang baik dapat memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap keberlangsungan kehidupan corporasi
Cracking values itu tidak terjadi
secara ‘ujug-ujug’. Akan tetapi perlu proses. Sebagai contoh
cracking values di pertamina
1.
Munculnya UU 22 2001 tentang migas mengubah dari
comfort zone pertamina
sebagai BUMN yang monopolistis….ke dunia nyata
2. The Burning platform ---ciptakan kondisi supaya tidak ada pilihan. Bakar kapalnya….
3. Breakthrough project --- terobosan hal-hal mudah tapi
berdampak besar, gampang diukur dan dapat dilihat hasilnya (membuat 22 proyek) untuk 100 hari---btp
1
4.
Btp 2 waktunya 9 bulan
Contoh cracking values di intel
jaman grove (2003) yang semula bersikukuh menggunakan pendekatan Schmidt
mengatakan fakta –apa yang ada dipikiran--- dan mengatakan apa yg akan dilakukan
berubah-------memuaskan konsumen untuk mengurangi kepanikan----“intel akan
mengganti chip bila konsumen menginginkan….
Contoh cracking values di general
electric----jack Welch---better than the best----speed, simplicity dan self
confidence---immelt ceo pengganti Welch—menggunakan six sigma
Rahasianya terletak pada corporate values. Perusahaan-perusahaan yang tumbuh besar dan mampu bertahan lama ternyata didukung oleh kuatnya penanaman tata nilai atau values. Sehingga bila tata nilai sudah mulai luntur maka perlu cracking values. Tata nilai melekat, diimplementasikan, dan dijunjung tinggi oleh seluruh karyawan, manajemen, hingga para stakeholders dan mitra kerja. Kehadiran tata nilai yang diimplementasikan dengan baik dan terus diperbarui terbukti mampu membentengi perusahaan ketika menghadapi berbagai krisis yang datang dari luar maupun dari dalam.
Analisis mendalam terhadap Pertamina menjelaskan bagaimana powerhouse Indonesia ini berjuang keluar dari masa lalunya yang kelam melalui penanaman tata nilai 6C: Clean, Competitive, Confident, Customer focus, Capable, dan Commercial. Citra buruk korupsi, kolusi, dan nepotisme perlahan dikikis dengan tata nilai yang dimulai ketika Pertamina bertransformasi di tahun 2006. Dengan landasan tata nilai itu pula, Pertamina merintis jalan menjadi sebuah energy holding company kelas dunia.